Pengacara atau advokat merupakan profesi yang lekat dengan gaya glamour atau kemewahan. Tak ayal, banyak muda mudi kini banyak ingin menggeluti profesi ini. Dalam Undang-undangan Perpajakan, Pengacara atau advokat merupakan profesi bebas. Bebas dalam artian tidak terikat pada suatu perusahaan.
Sebagai warga negara, setiap orang maupun badan tak terlepas dari pajak. Pengacara adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun pengadilan (litigasi) di luar pengadilan (non litigasi) yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang – undang No. 18 Tahun 2003. Kegiatan yang dilakukan Pengacara atau advokat meliputi pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mendampingi, membela, serta melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hukum lainnya berdasarkan dengan kepentingan hukum klien.
Seorang Pengacara yang mendapatkan honor dari kliennya tersebut merupakan salah satu bentuk penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan.
Dalam sistem perpajakan, Pengacara adalah subyek pajak Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan, obyek pajak, karena memiliki keahlian khusus. Maka dengan demikian, ketentuan perpajakan, pengacara yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya, lebih tepat digolongkan dalam kategori Pekerjaan Bebas, hal ini sesuai dengan definisinya yaitu Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat 24 UU No 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
Dalam melaksanakan kegiatan perpajakannya, seorang Pengacara harus:
- Wajib memiliki NPWP, jika belum harus mendaftar
- Badan atau Orang Pribadi yang memiliki atau menjalankan usaha terkait jasa hukum dan mendapatkan omzet usahanya di atas Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, maka wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
- Sebagai pekerja bebas, pengacara harus menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dalam perhitungan penghasilan netto. Namun, hal ini menjadi syarat bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki omzet atau peredaran bruto yang tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun
- Pengacara yang melakukan kegiatan usaha dan berbentuk badan, maka wajib untuk melakukan pembukuan berdasarkan dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
- Wajib Pajak (WP) yang melakukan pembukuan, wajib melakukan pembukuan fiskal.
- Advokat atau pengacara yang melakukan pekerjaan bebas atas jasa hukum dan memiliki omzet di atas Rp 4,8 miliar, maka wajib untuk menyelenggarakan pembukuan, memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penghasilan yang diterima, melaporkan Surat Pemberitahuna (SPT) Masa, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh), serta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Lantas bagaimana perpajakannya?
Seorang Pengacara yang mendapatkan omzet dibawah dari Rp 4.8 Miliar diperbolehkan melakukan pencatatan dan penghitungan pajak terutangnya dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Jika Pengacara tersebut menggunakan pencatatan maka tata cara perhitungan penghasilan netonya sebagai berikut:
Penghasilan Neto= Norma X Penghasilan Bruto
Norma dalam hal ini tetah ditetapkan, untuk Medan, Bandung, jakarta, Palembang, Denpasar, Manado, Makassar, Pontianak, Semarang, Surabaya yakni 51%, ibukota lain dan daerah lain yakni 50%.
Lalu, Kebijakan Pajak Bagi Advokat bagaimana??
Berdasarkan peraturaan terbaru pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan berikut tarif perpajakan yang dikenakan:
- Penghasilan 0-Rp60.000.000 dikenakan tarif 5%
- Penghasilan Rp60.000.000-Rp250.000.000 dikenakan tarif 15%
- Penghasilan Rp250.000.000-Rp500.000.000 dikenakan tarif 25%
- Penghasilan Rp500.000.000-Rp5.000.000.000 dikenakan tarif 30%
- Penghasilan lebih dari Rp5.000.000.000 dikenakan tarif 35%.
Bagi seorang advokat atau pengacara yang memiliki praktik di bidang hukum secara mandiri, maka akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Besaran pajak yang dibayarkan akan dihitung berdasarkan dengan mekanisme tarif yang sesuai Pasal 17 dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), yaitu sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto (kotor) yang didapatkan.
Apabila advokat atau pengacara tersebut masuk atau bertindak atas nama persekutan atau firmanya, maka penghasilan yang diperoleh tersebut merupakan penghasilan untuk persekutuannya, maka akan dipotong dengan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 sebesar 2% (dua persen) atas imbalan jasa hukum yang diterimanya.
Adapun, advokat sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi pun perlu melakukan pelaporan SPT Tahunan. Terkait pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi.